Dalam satu hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah sallallahu’alaihi wassalam bersabda, “Akan datang suatu masa ketika semua orang memakan riba. Mereka yang tidak mau makan riba pun pasti terkena debunya.” Masa itu adalah hari ini dan artinya semua manusia tengah terlibat dengan riba. Hari ini, seluruh tata kehidupan manusia telah bercampur dengan riba hingga semua tak bisa menghindarinya. Riba telah menjadi cara hidup saat ini. Perhatikanlah bagaimana Anda menjalani kehidupan sehari-hari saat ini.
Untuk memiliki sebuah rumah, kendaraan, bahkan peralatan rumah tangga (misalnya, televisi, perabot elektronik, dan meubel) pada umumnya, sebagian orang membayarnya secara kredit berbunga sebab harga-harga kebutuhan hidup ini jika harus dibeli secara tunai, akan semakin tidak terjangkau. Lebih dari itu, untuk kebutuhan sekunder pun, seperti untuk ongkos pendidikan dan
biaya kesehatan, malah untuk kehidupan hari tua, sebagian besar mengandalkan layanan yang juga berbasis kredit berbunga. Entah namanya tunjangan, asuransi, dana pensiun atau tabungan hari tua.
Bisakah dalam kondisi saat ini terhindar dari riba, setidaknya debunya, ketika riba telah menggurita menjadi sistem? Untuk bepergian pun, apalagi kalau melewati jalan tol, Anda otomatis terlibat dengan sistem riba karena ongkos tol dan pajak jalan yang dibayarkan mengandung riba, sebab investasinya berasal dari kredit perbankan. Membeli bahan bakar dan gas pun mengandung riba.
Menggunakan jasa listrik dan telepon tidak bersih dari riba. Bahkan seluruh layanan sosial yang disediakan oleh pemerintah pun, dalam bentuk apa pun, sesungguhnya dibiayai dari utang berbunga
dari perbankan. Bukankah untuk menggaji Pegawai Negeri Sipil (PNS), beserta segala tunjangan dan dana pensiunnya, pemerintah mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berasal dari utang berbunga dari perbankan?
Riba mengakibatkan kesengsaraan bagi semua orang. Allah Ta’ala menyatakan riba menyebabkan manusia “menganiaya dan dianiaya”. Riba membuat beban kehidupan menjadi semakin tidak
tertanggungkan, biaya dan harga apapun menjadi berlipat ganda.
Perhatikan kenyataan di sekeliling Anda, beberapa kurun waktu lalu, setiap keluarga secara relatif mudah dapat memiliki tanah dan sebuah rumah yang layak. Akan tetapi, ketika tanah-tanah mulai
dikuasai oleh para bankir melalui pengembang-pengembang, memiliki rumah menjadi kemewahan. Dengan dalih menolong masyarakat para bankir menciptakan Kredit Perumahan Rakyat (KPR). Apa akibatnya? Justru harga rumah semakin tak terjangkau.
KPR yang awalnya ditujukan untuk rumah bertipe 70, harus diturunkan untuk tipe 60, lantas untuk tipe 45, lalu tipe 36, dan kini semakin kecil lagi untuk tipe 21. Itu pun hanya bisa dibeli oleh sedikit orang karena harganya yang semakin tidak terjangkau.
Sama halnya, untuk biaya kesehatan dan pendidikan. Lagi-lagi dengan dalih membantu masyarakat untuk “meringankan” biaya jasa sosial ini para rentenir menciptakan berbagai bentuk kredit, asuransi, tunjangan, dan sejenisnya, yang semuanya berbasis pada utang berbunga. Lagi-lagi akibatnya, justru biaya kesehatan dan pendidikan semakin tidak terjangkau. Selain membayar ongkos untuk jasa pendidikan dan kesehatan itu sendiri, harus pula ditambah dengan biaya bunganya. Jangan lupa, bunga itu adalah bunga berganda, berlipat-lipat dengan berjalannya waktu.
Sistem perbankan memastikan riba sekecil apa pun menjadi berlipat ganda. Pelipatgandaan ini tidak saja terjadi secara linier pada utang berbunga yang secara langsung dikenakan oleh perbankan pada kredit yang dikeluarkannya, tetapi efek rentetan yang terjadi pada setiap transaksi yang mengandung utang berbunga, yang ditanggung oleh seluruh masyarakat dalam bentuk beban hidup yang semakin mahal. Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala melarang keras praktek riba.
Saat ini, riba telah mempengaruhi semua sektor ekonomi riil karena melibatkan unsur cost of money, —disebut bunga atau tidak— yang juga mematikan sejumlah sektor riil ini karena hambatan “biaya uang” tersebut. Akibat berikutnya, yaitu tertutupnya kesempatan jutaan lapangan pekerjaan. Dalam prakteknya, pinjammeminjam uang berbunga ini merupakan kegiatan sewa-menyewa uang. Karena itu, masyarakat tidak terdorong menginvestasikan uangnya ke sektor produktif. Berapa juta lapangan pekerjaan yang tertutup dengan uang masyarakat yang disewakan kepada perbankan atau lembaga keuangan nonbank, dengan bunga, misalnya 15% per tahun, dibandingkan dengan jika uang tersebut diproduktifkan dalam kegiatan ekonomi riil melalui skema bagi hasil?
Contoh keadaan saat ini ketika perbankan, baik bank konvensional atau bank syariah, maupun turunannya, termasuk Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Mal wa Tamwil
(BMT), yang tidak lain adalah skema kredit mikro, mengenakan bunga atau cost of money pada pinjaman sebesar 15% tersebut maka kegiatan usaha produktif yang memberikan keuntungan kurang dari 15% dianggap tidak layak. Apa akibatnya?
Banyak lapangan kerja yang tertutup dan ekonomi yang tidak efisien karena tambahan biaya akibat riba.
Belum lagi ditambahkan beban riba berbentuk aneka jenis pajak, yang juga berlapis-lapis adanya. Mulai dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan, bea dan cukai, sampai bea materai. Akibat selanjutnya, adalah harga barang dan jasa yang tidak bisa lagi murah karena pertama-tama harus ditambahkan dengan harga sewa uang atau modal yang dipakai dalam menghasilkan barang dan jasa tersebut, serta pajak-pajak yang dikenakan atas seluruh proses produksi itu, pada produknya sendiri, bahkan pada proses jual-belinya. Denyut ekonomi saat ini adalah denyut riba, atau lebih dikenal dengan sistem kapitalisme.
Jadi, akar persoalan saat ini adalah riba. Akan tetapi, solusi yang ditawarkan pun, adalah riba berikutnya!
Boleh jadi ini akan yang mengagetkan Anda, bahwa seluruh rangkaian sistem riba ini dimulai dari isi dompet Anda sendiri yakni keberadaan uang kertas. Kenyataan bahwa uang kertas adalah riba akan dibahas secara lebih rinci di belakang nanti. Berikut akan diuraikan terlebih dahulu posisi riba di hadapan Allah Ta’ala dan Rasulullah sallallahu’alaihi wassalam.
0 komentar:
Posting Komentar