Sebagian besar orang atau warganegara di hampir seluruh negara nasional di dunia ini, belum memahami bahwa mata uang kertas yang mereka pakai di negaranya sebagian besar bukanlah terbitan pemerintah setempat. Hak monopoli penerbitan uang kertas diberikan kepada perusahan-perusahaan swasta yang menamakan dirinya sebagai ”bank sentral”. Sebelum ada bank sentral sejumlah bank swasta menerbitkan nota bank yang berlaku sebagai alat tukar tersebut.
Dimulai di Inggris, dengan kelahiran Bank of England, hak menerbitkan uang kertas itu mulai diberikan hanya kepada satu pihak saja. Memang, kebanyakan bank sentral itu melabeli dirinya
dengan nama yang berbau-bau nasionalisme, sesuai negara masing-masing.
Bank Sentral Milik Keluarga-Keluarga
Pembahasan dimulai dari bank sentral paling berpengaruh saat ini, yaitu Federal Reserve AS sering disebut The Fed, yang menerbitkan dolar AS. Saham terbesar The Fed ini dimiliki oleh dua bank
besar, yaitu Citibank (15%) dan Chase Manhattan (14%). Sisanya, dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%), dan Manufacturers Hannover
(7%). Sampai tahun 1983 sebanyak 66% dari total saham The Fed ini, setara dengan 7.005.700 saham, dikuasai hanya oleh 10 bank komersial, sisanya 44% dibagi oleh 17 bank lainnya.
Bahkan, jika dilihat dengan lebih sederhana lagi, 53% saham The Fed dimiliki hanya oleh lima besar yang disebutkan. Bahkan, jika diperhatikan dengan saksama, saham yang menentukan pada Federal Reserve Bank of New York, yang menetapkan tingkat dan skala operasinya secara keseluruhan berada di bawah pengaruh bank-bank yang secara langsung dikontrol oleh ‘London Connection’,
yaitu, Bank of England, yang dikuasai oleh keluarga Rothschild. Hal yang sama terjadi dengan bank-bank sentral di berbagai negara, namanya berbau nasionalis, tetapi kepemilikannya adalah privat. Misalnya, Bank of England yang bukan milik rakyat Inggris, melainkan para bankir swasta, yang sejak 1825 sangat kuat di bawah pengaruh satu pihak saja, ialah keluarga Rothschild.
Pengambilalihan oleh keluarga ini terjadi setelah mereka mem-bail out utang negara saat terjadi krisis di Inggris. Deutsche Bundesbank bukanlah milik rakyat Jerman, melainkan milik keluarga Siemens
dan Ludwig Bumberger. Hong Kong and Shanghai Bank bukan milik warga Hong Kong, tetapi di bawah kontrol Ernest Cassel, dan menjadi salah satu penerbit dolar Hong Kong. Sama halnya dengan National Bank of Marocco dan National Bank of Egypt didirikan dan dikuasai oleh Cassel yang sama, bukan milik kaum Muslim Maroko atau Mesir. Imperial Ottoman Bank (sekarang menjadi Central Bank of Turkey) bukan milik rakyat Turki, melainkan dikendalikan oleh Pereire
Brother, Credit Mobilier, dari Perancis. Demikian seterusnya.
Jadi, ’Bank-bank Nasional’ itu, sebenarnya adalah sindikat keuangan internasional. Modal ’antar-bangsa’ yang secara riil tidak ada dalam bentuk aset nyata (specie) apapun, kecuali dalam bentuk
angka-angka nominal di atas kertas atau byte yang berkedap-kedip di permukaan layar komputer. Bank-bank ini sebagian besar dimiliki oleh keluarga-keluarga yang sebagian sudah disebutkan di atas.
Utang-utang yang mereka berikan kepada pemerintahan suatu negara tidak pernah diminta oleh rakyat negara tempat mereka beroperasi, tetapi dibuat oleh pemerintahan demokratis yang mengatasnamakan warga negara. Mereka, para bankir ini ialah orang-orang yang tidak dipilih, tak punya loyalitas kebangsaan, dan tidak akuntabel, tetapi mengendalikan kebijakan paling mendasar
suatu negara. Lalu, setiap kali mereka menciptakan kredit, setiap kali itu pula mereka mencetak uang baru dari byte komputer belaka.
BI Milik Siapa?
Jika bank-bank sentral di negeri-negeri lain milik keluarga tertentu yang tidak memiliki loyalitas kebangsaan, lalu siapakah yang memiliki Bank Indonesia (BI)?
Ini adalah pertanyaan valid yang seharusnya muncul pada diri warga negara Republik Indonesia. Sebagaimana diketahui, rupiah pun diterbitkan oleh BI, sebagai pihak yang diberi hak monopoli
untuk itu. Tidak pernah diberitahu siapa pemegang saham BI. Akan tetapi, marilah tengok sejarah asal-usul bank sentral di Indonesia.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, para pendiri republik baru ini, menetapkan BNI 1946 sebagai bank sentral, dengan menerbitkan uang kertas pertama, yaitu Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) dengan standar emas, yaitu setiap Rp 10,- didukung dengan 5 gram emas. Ini artinya rupiah dijamin 0,5 gram emas per 1 rupiah.
Namun, saat Ir. Soekarno dan Drs. M. Hatta menyatakan kemerdekaan Republik Indonesia, Pemerintah Kolonial Belanda tidak mengakuinya, apalagi menyerahkan kedaulatan republik baru ini. Belanda mengajukan beberapa syarat untuk dipenuhi, dan selama beberapa tahun terus mengganggu secara militer, dengan beberapa agresi KNIL. Akhirnya, sejarah mencatat terjadinya perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949. Hasil dari KMB, disepakati beberapa kondisi pokok agar RI memperoleh pengakuan Belanda.
Pertama, yaitu penghentian Bank Negara Indonesia (BNI) 1946 sebagai bank sentral republik, yang akan digantikan oleh NV De Javasche Bank, sebuah perusahaan swasta milik beberapa pedagang Yahudi Belanda, yang berganti nama menjadi Bank Indonesia (BI).
Kedua, dengan lahirnya bank sentral baru itu pencetakan ORI sebagai salah satu wujud kedaulatan republik baru itu dihentikan, digantikan dengan Uang Bank Indonesia yang mulai direalisasikan
sejak 1952.
Ketiga, bersamaan dengan itu, utang pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar dolar AS –kepada para bankir swasta itu tentunya– diambilalih dan menjadi ”dosa bawaan” republik baru ini.
Kondisi ini terus berlangsung hingga medio 1965, saat Presiden Soekarno menyadari kuku-kuku neokolonialisme yang semakin kuat mencengkeram republik muda ini. Maka, pada Agustus 1965,
Presiden Soekarno memutuskan menolak kehadiran lebih lama IMF dan Bank Dunia di Indonesia. Bahkan, menyatakan merdeka dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Sebelumnya, antara 1963 s.d. 1965, Presiden Soekarno telah menasionalisasi aset-aset perusahaan Inggris dan Amerika sebagai kelanjutan dari pengambilalihan aset-aset perusahaan Belanda pada
masa 1957-1958. Akan tetapi, Presiden Soekarno harus membayar mahal tindakan politik penyelamatan bangsa Indonesia dari kuku neokolonialisme ini. Presiden Soekarno harus enyah dari republik ini, dan itu terjadi 1967, dengan naiknya Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI ke-2.
Dengan enyahnya Ir. Soekarno, neokolonialisme tidak saja kembali, tetapi menjadi semakin kuat. Tindakan pertama Presiden Soeharto pada 1967, yaitu mengundang kembali IMF dan Bank Dunia, serta kembali menundukkan diri sebagai anggota PBB.
0 komentar:
Posting Komentar